Tugas pendidik di semua jenjang pendidikan tidak
terbatas pada pemenuhan otak anak dengan berbagai ilmu pengetahuan. Pendidik selayaknya
mengajarkan pendidikan menyeluruh yang memasukkan beberapa aspek akidah dan
tata moral. Oleh karenanya, pendidik harus mampu menjadikan perkataan dan
tingkah laku anak didiknya di kelas menjadi baik yang pada akhirnya nanti akan
tertanam pendidikan karakter yang baik dikelak kemudian hari.
Karakter
yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan
masa kritis bagi pembentukkan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa
kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi
yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada
anak adalah usaha yang strategis. Ada sebuah pepatah yang dikemukakan oleh
Thomas Lickona: Walaupun jumlah anak-anak hanya 25% jumlah penduduk, tetapi
menentukan 100% masa depan”.
Masalah serius yang tengah dihadapi
bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan yang ada sekarang ini terlalu
berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan
pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Proses belajar juga
berlangsung secara pasif dan kaku sehingga menjadi tidak menyenangkan bagi
anak. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter (seperti budi
pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak
kiri (hafalan, atau hanya sekedar tahu). Semuanya ini telah
membunuh karakter anak sehingga menjadi tidak kreatif. Padahal, pembentukan karakter
harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan melibatkan aspek knowledge,
feeling, loving, dan acting. Pembentukan karakter dapat diibaratkan
sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang
memerlukan latihan otot-otot akhlak secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan
kuat. Selain itu keberhasilan pendidikan karakter ini juga harus
ditunjang dengan usaha memberikan lingkungan pendidikan dan sosialisasi yang
baik dan menyenangkan bagi anak. Dengan demikian, pendidikan
yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan
pendidikan karakter dengan pendidikan yang dapat mengoptimalkan perkembangan seluruh dimensi anak (kognitif, fisik, sosial-emosi, kreativitas, dan
spiritual). Pendidikan dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada
pembentukan anak sebagai manusia yang utuh. Kualitas anak didik menjadi unggul tidak hanya dalam aspek kognitif, namun juga dalam karakternya. Anak yang unggul dalam karakter akan mampu menghadapi segala persoalan dan tantangan dalam hidupnya. Ia juga akan menjadi seseorang yang lifelong learner.
Pada saat menentukan metode pembelajaran yang utama adalah menetukan
kemampuan apa yang akan diubah dari anak setelah menjalani pembelajaran
tersebut dari sisi karakterya. Apabila kita ingin mewujudkan karakter
tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah menjadikan kewajiban bagi kita untuk membentuk pendidik sukses dalam pendidikan dan pengajarannya.
yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan
pendidikan karakter dengan pendidikan yang dapat mengoptimalkan perkembangan seluruh dimensi anak (kognitif, fisik, sosial-emosi, kreativitas, dan
spiritual). Pendidikan dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada
pembentukan anak sebagai manusia yang utuh. Kualitas anak didik menjadi unggul tidak hanya dalam aspek kognitif, namun juga dalam karakternya. Anak yang unggul dalam karakter akan mampu menghadapi segala persoalan dan tantangan dalam hidupnya. Ia juga akan menjadi seseorang yang lifelong learner.
Pada saat menentukan metode pembelajaran yang utama adalah menetukan
kemampuan apa yang akan diubah dari anak setelah menjalani pembelajaran
tersebut dari sisi karakterya. Apabila kita ingin mewujudkan karakter
tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah menjadikan kewajiban bagi kita untuk membentuk pendidik sukses dalam pendidikan dan pengajarannya.
Istilah karakter dipakai secara
khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad-18, dan untuk
pertama kalinya dicetuskan oleh pedadog Jerman F.W.Foerster. Terminologi ini
mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal
dengan teori pendidikan normatif. Yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai
transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi individu
maupun bagi sebuah perubahan sosial. Namun, sebenarnya pendidikan karakter
telah lama menjadi bagian inti sejarah pendidikan itu sendiri. Misalnya, dalam
cita-cita Paideia Yunani dan Humanitas Romawi. Pendekatan idealis dalam mayarakat
modern memuncak dalam ide tentang kesadaran Roh Hegelian. Perkembangan ini pada
gilirannya mengukuhkan dialektika sebagai sebuah bagian integral dari pendekatan
pendidikan karakter.
Lahirnya
pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali
pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme
yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte. Foerster menolak gagasan
yang meredusir pengalaman manusia pada sekadar bentuk murni hidup alamiah.
Dalam
sejarah perkembangannya memang manusia tunduk pada hukum-hukum alami, namun
kebebasan yang dimiliki manusia memungkinkan dia menghayati kebebasan dan
pertumbuhannya mengatasi sekadar tuntutan fisik dan psikis semata. Manusia
tidak semata-mata taat pada aturan alamiah, melainkan kebebasan itu dihayati
dalam tata aturan yang sifatnya mengatasi individu, dalam tata aturan
nilai-nilai moral. Pedoman nilai merupakan kriteria yang menentukan kualitas
tindakan manusia di dunia.
Kilpatrick
dan Lickona merupakan pencetus utama pendidikan karakter yang percaya adanya
keberadaan moral absolute dan bahwa moral absolute
itu perlu diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Lickona (1992) dan Kilpatrick (1992) juga Brooks dan Goble
tidak sependapat dengan cara pendidikan moral reasoning dan values
clarification yang diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolut (bukan bersifat relatif) yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai the golden rule. Contohnya adalah berbuat jujur, menolong orang, hormat dan bertanggungjawab. Di Indonesia pendidikan tentang peningkatan kemampuan karakter individu masih terkesan dikesampingkan, terutama di dalam
dunia pendidikan. Hal ini terlihat dengan tidak adanya materi pelajaran yang mengarahkan pada pola pengembangan pendikan karakter pada anak. Selama ini banyak kalangan menganggap bahwa kesuksesan dalam berkarier ditentukan oleh IQ dan keahlian, walupun hal tersebut tidak seratus persen benar. Namun ada beberapa faktor yang sangat diperlukan dan disiapkan sedini mungkin tentang hal tersebut. Seperti halnya sebuah komputer yang handal performanya, tidak hanya ditentukan oleh hardware saja namun juga harus didukung oleh software yang canggih pula. Agar kinerja saling sejalan.
itu perlu diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Lickona (1992) dan Kilpatrick (1992) juga Brooks dan Goble
tidak sependapat dengan cara pendidikan moral reasoning dan values
clarification yang diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolut (bukan bersifat relatif) yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai the golden rule. Contohnya adalah berbuat jujur, menolong orang, hormat dan bertanggungjawab. Di Indonesia pendidikan tentang peningkatan kemampuan karakter individu masih terkesan dikesampingkan, terutama di dalam
dunia pendidikan. Hal ini terlihat dengan tidak adanya materi pelajaran yang mengarahkan pada pola pengembangan pendikan karakter pada anak. Selama ini banyak kalangan menganggap bahwa kesuksesan dalam berkarier ditentukan oleh IQ dan keahlian, walupun hal tersebut tidak seratus persen benar. Namun ada beberapa faktor yang sangat diperlukan dan disiapkan sedini mungkin tentang hal tersebut. Seperti halnya sebuah komputer yang handal performanya, tidak hanya ditentukan oleh hardware saja namun juga harus didukung oleh software yang canggih pula. Agar kinerja saling sejalan.
Dr.
Umi Dayati: Dosen Universitas Negeri Malang